Siswa sekarang tidak sama dengan siswa dahulu, mereka hampir tidak memiliki sopan santun terhadap gurunya. Para siswa saat ini lebih berani melakukan protes urakan bahkan berdemo anarkis bila sekolah tempat mereka menuntut ilmu tidak mampu memberikan kepuasan. Siswa yang hari ini kita saksikan lebih menyukai gaya belajar nyantai, suka tawuran, senang nongkrong di mal dan suka hura-hura. Terhadap guru kurang hormat, kepada orang tua suka membangkang.
Demikian obrolan beberapa guru senior menyikapi kondisi pelajar kita saat ini. Kondisi ini nyaris terjadi dihampir setiap sekolah dan disetiap jenjang pendidikan. Entah memang jamannya yang membuat karakter pelajar kita kehilangan pribadi terpelajar, ataukah budaya yang telah membentuk mereka seolah kehilangan pijakan nilai. Tentu amat meresahkan banyak orang tua, utamanya para guru di sekolah.
Awalnya gambaran seperti itu hanya dapat kita saksikan di sinetron bertema anak sekolahan. Namun faktaanya anak-anak sekolah yang kita saksikan hari ini terlihat ceria dengan dandanan super menor, potongan rok pendek, baju sedikit agak ketat, dan sepatu warna warni. Obrolannya seputar gaya hidup dan dunia percintaan. Bagi pelajar putra terlihat mencolok dari potongan rambut yang gondrong bebas terurai. Pakainnya jarang rapi dan agak lusuh, bukan karena tidak terbeli apalagi disebut kurang mampu.
Mereka melakukan itu karena hampir semua siswa melakukan style yang sama. Dalam menghadapi ujian nasional, para pelajar kita sangat menyepelekan dan tidak ada kesungguhan. Bimbingan belajar, pengayaan dan uji coba UN yang dilaksanakan berkali-kali dianggapnya hanya membuang energi saja. Mereka terlihat santai karena dalam otak mereka akan ada bocoran dan ujung-ujungnya lulus 100 %. Pemandangan ini terjadi hampir seragam di sekolah-sekolah perkotaan hingga sekolah yang ada di pelosok desa.
Setiap nongkrong di pinggir jalan atau di warung-warung kecil, disana ada kepulan asap rokok yang menggumpal tebal dan minuman yang aromanya amat menyengat. Pemandangan ini terlihat ketika disaat jam pulang sekolah. Mereka tidak bergegas pulang ke rumah, namun mereka lebih memilih untuk kumpul bersama teman di tempat pavoritnya. Kendaraan bermotor keluaran terbaru yang mereka tumpangi biasanya lebih dari dua orang dan tidak disertai helm pengaman. Siswa kerapkali parkir di sembarang tempat, menerabas lampu merah. Dan jangan tanya apakah mereka memiliki SIM.
Gaya hidupnya telah tergiring oleh media untuk menyukai hal-hal yang nyaris sama. Kemana-mana selalu membawa telepon genggam lebih dari satu dengan tipe terbaru dan merek ternama. Dalam beberapa hal kita akui mereka lebih pintar dan well-informed daripada orang tuanya bahkan lebih mahir dari gurunya. Mereka memperoleh informasi setiap saat melalui internet.
Mereka tidak selalu bersemangat untuk belajar di kelas, karena terlalu menjenuhkan dan banyak hapalan. Mimpi mereka melangit dan setiap ditanya cita-cita, mereka menyebutkan dengan fasih ingin jadi dokter, insinyur, pengusaha sukses, direktur, menteri bahkan presiden. Tetapi sangat aneh apa yang mereka lakukan justru bertolak belakang dari mimpinya.
Mereka terjebak dengan kebiasaan merokok dan minum-minuman keras. Pergaulan dengan lawan jenis yang bebas tanpa batas yang kemudian hamil di luar nikah terjadi hampir disetiap sekolah tingkat menengah. Mereka terbiasa mengkonsumsi narkoba dan barang-barang haram lainnnya. Tawuran massal pelajar kerap terjadi setiap saat, dan yang mencengangkan kita, setiap kali terjadi tawuran mereka melengkapi diri dengan clurit, parang, palu, gir motor, rantai sepeda dan gergaji.
Akal sehat mana yang mampu mencerna tradisi pelajar kita saat ini.
Padahal mereka tak pernah diajarkan kekerasan di ruang kelas, apalagi teknik membunuh yang paling sadis sekalipun. Jangan-jangan ini merupakan kesalahan strategi pendidikan kita yang mendewakan kognitif dan kelompok top ten percent serta mengabaikan pendidikan karakter sehingga anak-anak kita menjadi generasi kanibal, tukang mimpi, tukang penghayal dan tukang peminta-minta.
Sudah saatnya para pemimpin di level paling tinggi hingga paling dasar memikirkan masa depan pendidikan kita dengan serius. Pendidikan jangan sekedar digunakan sebagai alat kampanye dan pencitraan belaka. Pendidikan sejatinya dimanfaatkan sebagai alat untuk mengubah karakter bangsa dan pembangun SDM yang diandalkan. Ujung tombak pengubah dunia pendidikan kita adalah guru. Sehebat apapun kurikulum pendidikan kita bila kompetensi gurunya rendah jangan berharap akan ada perubahan pundamental di negeri ini.
Meminjam istilah yang digagas oleh Kuntowijoyo tentang ilmu sosial Profetik, penulis meyakini bahwa hal yang sama bisa diimplementasikan dalam lingkup tugas guru di sekolah dan di masyarakat. Dalam konteks kekinian, guru profetik adalah sosok yang menjelma melayani peserta didik dengan bahasa hati, berupaya mengeksplorasi kemampuan menggali potensi anak, membimbingnya dengan penuh keikhlasan, memanusiakan dengan hormat dan bermartabat.
Guru sejatinya hadir di tengah-tengah siswa atas dasar panggilan jiwa, bukan atas keterpaksaan apalagi sekeder mengisi waktu luang. Guru profetik memiliki komitmen tinggi untuk menghapus kebodohan, menegakan kebenran, keberanian keberpihakan kepada siswa yang memiliki lemah fisik, mental, ekonomi dan keterbatasan kecerdasan. Terlarang bagi guru untuk memberikan pelayanan dan penilaian berdasarkan selera pribadi. Semua peserta didik dari jenis kelamin dan latar belakang yang berbeda mendapatkan layanan terbaik, terukur dan berkeadilan.
Dalam kondisi pendidikan kita yang mengalami sakit jiwa ini, menuntut para guru kaya akan ide dan mampu mengimplementasikannya. Bukan guru yang hanya sekedar pandai mengkritik rekan dan atasan, tapi ia hadir menjadi solusi dalam setiap masalah. Kehadirannya menjadi pionir dan sumber inspirasi bagi siswa dan pekerja pendidikan lain.
Guru profetik sangat piawai dalam mengelola keadaan, mereka tidak terkuras energinya untuk mengutuk segala kekurangan institusi, apalagi meratapinya hingga tak ada daya untuk mengubah dan memperbaikinya. Mereka menyukai tantangan dan selalu optimis sehingga mempercepat transformasi budaya dan prestasi. Guru profetik tidak gila pujian, mereka hadir bukan untuk dihormati karena mereka amat risih dengan segala sanjungan.
Orang tua dan siapapun yang memiliki anak usia sekolah, merindukan sosok guru yang mampu memberikan rasa aman bagi anak-anaknya dalam merajut ilmu di sekolah, bukan guru yang berkelakuan koboi, merendahkan martabat siswa dan membunuh karakter siswa dengan cacian dan makian. Guru yang merupakan refresentasi negara, wajib melayani rakyat dengan sepenuh hati. Karena guru telah dibayar oleh negara dari hasil keringat rakyat. Jangan kemudian rintihan rakyat untuk mendapatkan pendidikan bermutu dizolimi oleh guru itu sendiri.
Menjadi guru profetik akan dikenang oleh sejarah, karena kita merasa yakin bahwa tokoh-tokoh besar yang kita ketahui saat ini memiliki titisan kenabian yang menjunjung nilai-nilai profetik. Mereka memiliki karakter kuat dan bersih untuk memenuhi dahaga rakyatnya. Mereka merasa malu untuk berlama-lama hidup bila tidak kontributif untuk bangsanya.
0 Comments