Ujian Nasional Untuk Guru

MEMANG terasa kurang adil, ketika siswa secara berkala harus berhadapan dengan ujian nasional (UN), justru gurunya tak pernah diuji sama sekali. Guru dianggap sudah mumpuni dalam penguasaan materi pembelajaran,  guru juga dianggap telah mahir dalam mengekspolari segala model  pembelajaran. Padahal kualitas guru disetiap satuan pendidikan seringkali jauh dari harapan. Program sertifikasi ternyata tidak serta merta menaikkan kualitas dan kinerja guru. Kasus guru yang sering mangkir dari tugas, bolos mengajar, datang terlambat pasti sangat berkontribusi dalam menghancurkan masa depan pendidikan kita.

 Oleh karenanya, saya berani bertaruh bila guru yang mengajar mata pelajaran yang di UN kan, kemudian mereka mengerjakan sejumlah pertanyaan yang materi soalnya persis sama seperti yang diujikan kepada siswa, maka hasilnya tak akan pernah lulus seratus persen secara nasional. Banyak guru kita yang tidak percaya diri terhadap kemampuan  paedagogisnya. Maka sangat beralasan bila kemudian sebelum hasil UN diumumkan, para guru  seringkali was-was dan stres.

Ujian Nasional Untuk Guru

Banyak guru-guru yang terkejut dengan tingkat kesulitan materi UN, apalagi guru junior yang belum banyak bersentuhan dengan materi ajar secara menyeluruh. Kualitas soal UN tingkat SMA dan yang sederajat tahun 2014 ini dikabarkan meningkat karena merujuk pada TIMSS dan PISA. Para guru yang tidak mampu melakukan impropisasi dalam mengajar dipastikan akan mengalami kegagapan ketika berhadapan dengan soal-soal UN.

Bila dua tahun terakhir ini naskah soal UN memiliki lebih dari 20 varian paket soal, sesungguhnya bukan saja untuk mempersempit gerak siswa dalam mencontek atau bekerjasama dengan siswa lain. Namun yang tak kalah penting lagi adalah  untuk meminimalisir keterlibatan guru mata pelajaran dalam membantu siswanya mengerjakan soal. Anekdot yang sering bermunculan disaat UN tiba adalah, siswa mengikuti UN, guru yang paling pusing.

Kecurangan yang terjadi selama UN dan melibatkan guru, bukan tidak tercium oleh Kemendikbud dan BSNP, justru mereka sangat mengetahui modus yang digunakan oleh para pendidik di lapangan. Dengan menyiapkan lebih 20 paket soal, guru manapun bila mengerjakan sendiri tak akan mampu menyelesaikan soal UN secara benar dalam waktu yang sangat terbatas yakni 120 menit.

Padahal secara psikologis, hampir semua guru yang mengajar mata pelajaran yang di UN-kan mengalami tekanan dan beban yang maha dahsyat. Kepiawaian guru dalam mengelola siswa sebenarnya sedang diuji dalam pentas UN. Para guru sangat mafhum bahwa kemampuan siswa yang beragam tidak bisa dipaksakan untuk menguasai semua bidang yang diujikan. Kalaupun dalam UN siswa boleh memiliki nilai 4, namun hanya boleh satu pelajaran saja, selebihnya siswa harus memiliki nilai minimum rata-rata 5.5. Artinya ada mata pelajaran yang harus berkontribusi besar untuk mengamankan nilai lulus.

Kondisi setiap sekolah sangat beragam dari sisi sumber daya dan sumber dana. Hanya sekolah yang mapan SDM sajalah yang sangat siap dengan pola UN yang berlaku saat ini.  Sekolah yang berkatagori kecil dari aspek jumlah siswa dan sarana, apalagi sekolah abal-abal akan merasa sangat kesulitan dalam mengikuti pola dan aturan ujian. UN tidak lebih dari sebuah beban siswa yang dipaksakan untuk dipikul, yang kemudian membuat para guru kian muak dan menyesakkan.

Namun terasa amat ironis apabila guru yang mengajar di sekolah milik pemerintah dengan standar mutu yang memadai, didukung sarana yang cukup, terakreditasi A dan ditunjang dengan latar belakang ekonomi siswa yang bagus, serta dibimbing oleh guru yang telah memperoleh penghargaan sertifikasi, namun dikala UN tiba masih dirundung resah dan gelisah. Kualitas dan prestasi anak didiknya masih standar bahkan jauh di bawah  sekolah swasta yang hanya bermodalkan  komitmen kuat untuk maju.

Gagasan sederhana boleh jadi agak liar, nampaknya bisa menjadi bahan pertimbangan  pemerintah untuk mendongkrak kualitas pendidikan kita. Diantaranya adalah dengan terobosan melaksanakan ujian nasional bagi guru dan kepala sekolah setiap tiga tahun sekali. Para guru dan kepala sekolah yang tidak memenuhi standar lulus, sebaiknya layak untuk dipertimbangkan dicabut tunjangan sertifikasinya, termasuk kepala sekolah untuk dikembalikan menjadi guru biasa bila nilai UN nya jeblok.

UN bagi guru dapat pula berfungsi sebagai pemetaan mutu guru secara nasional, yang selanjutnya pemerintah dapat memberikan layanan pelatihan yang tepat. Bukankah selama ini pemerintah hanya memberikan pelatihan kepada guru-guru tertentu saja. Bahkan ada guru yang hingga masuk masa pensiun belum pernah diikutsertakan dalam berbagai pelatihan. Sangat logis bila kemudian guru kita hanya menjadi guru biasa-biasa saja.

Program UN bagi guru akan memaksa sekaligus memicu setiap personal guru untuk meningkatkan kualitas dirinya. Bisa jadi mereka mau berkorban untuk ikut training mandiri dengan biaya sendiri. Bahkan pelatihan secara on line  pasti banyak diminati guru. Guru yang selama ini pelit untuk membeli dan membaca buku boleh jadi mereka kian bersemangat untuk terus mempelajari hal-hal baru. Kecenderungan selama ini, guru mau mengikuti pelatihan asalkan ada uang sakunya, ada transportnya alias selalu ingin gratis.

Selama ini pemerintah sangat memanjakan guru-guru yang malas dan rendah kompetensinya dengan aneka tunjangan. Mereka seharusnya diharamkan untuk menikmati gaji dan penghargaan dalam bentuk apapun. Karena guru-guru yang malas hanya akan mewariskan keburukan mental kepada anak didiknya, dan sangat membahayakan bagi proses kemajuan bangsa. Guru yang masa bodo, tidak peduli, mengabaikan tanggung jawab dan tak ada keinginan kuat untuk berubah biasanya akan menyebarkan virus yang sangat menakutkan bagi sesama guru lainnya.

Mungkin kita perlu mengadopsi apa yang digagas oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Jambi Rifai yang menghendaki untuk diberikan wewenang mengusulkan guru yang malas agar dicabut tunjangan sertifikasinya. Atau rencana Kantor Wilayah Kememnterian Agama Provinsi Aceh yang akan mengalihkan jabatan guru yang tidak kompeten menjadi tenaga adminintrasi. Sikap tegas dari pemegang otoritas nampaknya perlu ditempuh bila pendidikan kita ingin bergeser menjadi lebih baik.  

Walaupun demikian memperlakukan guru tidak harus dengan cara otoriter  apalagi bersikap bengis. Tugas guru di sekolah bukan sekedar mengajar dan melakukan transfer ilmu kepada siswanya. Namun lebih dari itu, guru saat ini pun melayani keluhan para orang tua siswa yang ternyata butuh bimbingan guru.

0 Comments