JEBAKAN VALENTINE’S DAY

SEJAK awal Februari, beberapa stasiun televisi sudah mulai menayangkan keriuhan valentine. Menjelang dekatnya perayaan, sejumlah koran nasional dalam sisipannya mengangkat tema kedahsyatan kasih sayang. Pernak pernik bernuansa pink telah banyak berjejeran di sepanjang toko dan di warung emperan. Senyum rekah kaum remaja, yang sebagian besar pelajar sekolah menengah menyambut hari kasih sayang yang biasa dirayakan setiap tanggal 14 Februari. Sebagian orang tua justru mulai was-was dengan gerak gerik mencurigakan dari anak-anaknya yang mulai menanjak usia remaja. 

Valentine day oleh sebagian remaja dijadikan sarana untuk menumpahkan kegelisahan cinta mereka kepada pasangannya. Tidak ada lagi hijab pembatas dalam pergaulan remaja pada momentum valentine. Kaum remaja dengan jenis kelamin berbeda berbaur dalam ruangan yang sama. Tak ada lagi etika yang dipegang, tak dibutuhkan lagi norma agama sebagai pegangan hidup. Mereka merayakan kebebasan sesat dalam mengekspresikan cintanya kepada sang kekasih. Tidak jarang pergaulan mereka berakhir dengan menodai kesucian cinta yang dijaganya sejak kecil.
JEBAKAN VALENTINE’S DAY

Ajang maksiat dan bagi-bagi dosa di wahana valentine, seyogyanya dicegah tangkal oleh siapapun yang memiliki tanggung jawab terhadap masa depan kaum remaja. Kita tidak boleh membiarkan mereka dalam kubangan dosa yang menyesatkan. Kita juga jangan berdiam diri ketika malam valentine berakhir, banyak kondom berserakan di tempat-tempat rekreasi, di rumah kontrakan dan di kos-kosan. Tanpa ada valentine pun hubungan seks bebas sudah biasa terjadi dan merajalela dikalangan remaja. Kita amat merindukan gerakan moral kaum ulama, para pemimpin organisasi keagamaan, para guru dan orang tua untuk menyatakan perang terhadap valentine day yang mendatangkan mudharat itu.

Kita sangat mengapresiasi gerakan yang telah dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat seperti Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menolak keras peringatan hari valentine. Adapun geliat remaja masjid dibeberapa kota besar seperti di Bandung, Jakarta dan kota-kota besar lainnya sangat kreatif. Mereka menempuh untuk membendung derasnya arus valentine dengan berdakwah melalui Facebook dan Twitter. Sementara Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Indonesia menggelar “Gerakan Menutup Aurat Internasional” yang dimulai pada 14 Februari sampai 28 Februari. Mereka berkeinginan untuk memberi pemahaman bahwa valentine merupakan perayaan yang bertentangan dengan ajaran islam.

Perayaan Valentine sesungguhnya berasal dari perayaan ritual Lupercalia yang merupakan rangkaian upacara penyucian pada masa Romawi Kuno. Pada hari itu para pemuda berkumpul untuk mengundi nama-nama gadis yang berada di dalam suatu tempat. Bila undiannya keluar atas nama salah satu gadis yang ada, maka gadis tersebut harus menjadi pasangan sang pemuda selama setahun untuk bersenag-senang. Budaya ini kemudian diadopsi oleh Kristen Katolik, dan Paus Glasius I menjadikan perayaan Romawi kuno ini menjadi hari perayaan geraja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati Santo Valentine yang mati pada tanggal 14 Februari.

Kaum remaja muslim tidak boleh terjebak dengan hingar bingar Valentine. Sangat boleh jadi perayaan ini sengaja dimunculkan secara sporadis oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan agar generasi muda muslim terjerumus oleh budaya seks bebas. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh lembaga nirlaba bidang pendidikan di Surabaya mengungkapkan bahwa sebanyak 20 persen pelajar Surabaya yang hamil sebelum menikah ternyata telah melakukan hubungan seks saat merayakan Valentine. Malam perayaan Valentine seringkali juga dibumbui dengan menenggak minuman keras dan pesta narkoba.

Budaya seks bebas kondisinya sudah sangat darurat, kewaspadaan orang tua terhadap anak-anaknya yang menginjak remaja harus lebih ekstra. Pasalnya praktik perzinaan dikalangan anak baru gede tidak selalu dilakukan di tempat sepi dan ruang tertutup, praktik keji itu seringkali dilakukan di atas jok motor dan di rumah tempat tinggal. Orang tua jangan membiarkan anaknya mengobrol bebas dengan pacar atau teman di rumah hingga larut malam, apalagi di ruang tamu yang jauh dari jangkauan pengawasan orang tua. Ketika semua penghuni rumah terlelap tidur dan hanya dua manusia remaja yang masih terjaga, maka ruang perzinaan kian terbuka luas.

Menolak budaya Valentine day nampaknya pilihan sangat cerdas untuk saat ini. Budaya produksi barat itu tidak sejalan dengan kearifan lokal dan budaya bangsa, apalagi sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Meniru budaya yang bertentangan dengan Islam berarti telah menodai Islam itu sendiri. Kasih sayang dalam Islam berlaku sepanjang hayat terhadap makhluk Allah di semesta raya ini. Tidak ada hari khusus yang istimewa untuk menumpahkan rasa sayang kepada sesama. Setiap hari, setiap saat rasa kasih sayang itu seharusnya menggelora dan tumbuh disetiap pribadi manusia. Ajaran salam setiap berjumpa dengan sesama muslim menandakan tak ada sekat dan batasan dalam menyemai kebaikan dan kasih sayang.

Gempuran bertubi-tubi untuk merusak moral generasi muda nampaknya akan terus berlangsung, bahkan lebih terpola dan sistematis. Anak-anak kita dihantam melaui tayangan sinetron remaja yang hanya mempertontonkan kompetisi percintaan dan pamer kekayaan. Anak-anak kita dijejali dengan film, gambar dan cerita pornografi yang setiap saat mudah diakses di internet. Di buku-buku pelajaran sekolah dan LKS, pesan-pesan pornografi seringkali menyusup dan tampil lebih elegan agar di hayati lebih mendalam, dan pada akhirnya menjerumuskan.

Rasanya tidak elok bila kondisi remaja yang tercabik-cabik saat ini dibiarkan jalan sendiri. Jangan sampai mereka menemukan rumusan kebahagiaan semu yang bersumber dari ideologi barat yang menyesatkan. Para pemimpin daerah setidaknya mau bergerak untuk meminimalisir dampak terburuk dari perayaan Valentine. Seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Mataram Nusatenggara Barat yang melarang para pelajar di sekolah-sekolah untuk merayakan hari Valentine. Bahkan di Kampar Riau para pelajar yang coba memaksakana merayakan Valentine akan diberikan sanksi. Bila langkah ini diikuti oleh semua Pemerintah daerah sampai ke sekolah maka perayaan Valentine tidak akan menemukan ruang dikalangan pelajar, Setidaknya memepersempit gerak remaja untuk berhura-hura di 14 Februari.

Masa depan generasi muda adalah tanggung jawab bersama, ongkos yang sangat mahal ditanggung oleh negara bila kaum muda saat ini tidak memiliki kekuatan akidah. Mereka akan sangat mudah dicekoki aliran dan budaya yang menenggelamkan cita-cita dan masa depan. Dalam jangka panjang tak ada yang diharapkan dari generasi yang keropos moralnya dan tuna ilmu agamanya. Peran orang tua, tokoh agama dan guru di sekolah sangat urgen untuk menuntun remaja agar tak salah jalan. (*)

0 Comments