Waspada Memilih Sekolah

TAHUN pelajaran baru akan dimulai, Dinas Pendidikan telah melakukan sosialisasi kesejumlah sekolah. Spanduk, brosur, dan bentuk iklan layanan penerimaan peserta didik baru berserakan dimana-mana. Kesibukan sekolah berebut simpati siswa dan orang tua mulai terasa. Maklumlah sekolah tumbuh dimana-mana bak jamur dimusim hujan. Hampir disetiap desa atau kelurahan sudah terdapat sekolah, mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Persaingan antar sekolah dalam merekrut peserta didik pun, atmosfirnya mulai memanas.

Masyarakat masih mempercayai bahwa sekolah merupakan gerbang mengukir prestasi, tempat menggantungkan harapan dan cita-cita. Orang yang tidak mengenyam pendidikan sekolah dianggap terbelakang, tidak terpelajar bahkan dalam pergaulan masyarakat,  berada pada stratifikassi sosial yang rendah. Hal ini dapat dimengerti karena sekolah, seperti yang dikatakan Ivan Illich sebagai institutionalization of value (pelembagaan nilai-nilai).
Waspada Memilih Sekolah
Sumber Gambar: http://www.annasindonesia.com
Oleh karenanya hampir sebagian orang tua, yang memiliki anak usia sekolah berupaya memasukan anak-anaknya ke lembaga sekolah agar masa depannya lebih baik dan terhormat. Bahkan bagi orang tua kategori golongan have berani menyekolahkan anaknya di tempat super mahal bertaraf internasional. Roem Topatimasang dengan sangat ekstrim menulis judul buku Sekolah itu Candu. Ia menggambarkan bahwa seseorang akan kehilangan makna, kehilangan masa depan dan gagal bila seseorang memutuskan diri dari sekolah. Hingga detik ini, sekolah masih dianggap dewa yang mampu menuntun ke jalan kesuksesan. 

Sekolah berasal dari bahasa latin yaitu skhole, scola, scolae, schola yang berarti waktu luang. Orang yang memiliki waktu luang kemudian digunakan untuk kegiatan mengamati, membaca, meneliti, berdiskusi beragam disiplin ilmu, dengan bimbingan guru, disuatu tempat yang menyenangkan dan dalam kondisi batin tenang. Inilah yang sesungguhnya disebut sekolah. Jadi bila kita jumpai ada lembaga pendidikan yang setiap hari membuat siswa tegang dan penuh tekanan,. Dan dari mulut gurunya keluar kata-kata hinaan, caci maki dan sumpah serapah lainnya, maka kondisi ini tidak pantas disebut sekolah.

Dimusim penerimaan peserta didik baru, sekolah melakukan berbagai strategi untuk menggaet calon siswa. Sejumlah tempat strategis menjadi ajang perang spanduk. Didalam spanduk tertulis jelas aneka tawaran kemudahan belajar, biaya gratis, kegiatan  ekstrakurikuler yang padat, fasilitas belajar lengkap dan seribu rayuan manis terungkap.  Sering dijumpai antar sekolah terjadi kompetisi kurang sehat, segala macam cara ditempuh termasuk penawaran baju seragam sekolah gratis. Antar jemput siswa gratis bahkan bonus bagi siapapun yang mengajak dan memasukan calon siswa ke sekolah tertentu. Perang strategi antar sekolah hampir mirip dengan persaingan yang terjadi di dunia penjualan industri otomotif, saling serang dan saling menjatuhkan. 

Menjamurnya sekolah-sekolah baru yang kadang jaraknya sangat berdekatan mengundang tingkat resistensi yang tinggi. Gairah masyarakat untuk mendirikan sekolah seperti tak terbendung. Dengan alasan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, atau alasan lain, akhirnya sekolah  tumbuh  dan berserakan dimana-mana. Yang paling miris ketika ada pengelola sekolah dengan modal nekad, ketersediaan SDM terbatas, dan sarana gedung apa adanya, terkadang ngontrak di ruko. Mereka berani membuka kelas baru dengan menawarkan sejumlah kemudahan belajar berikut keunggulannya. Akhirnya masyarakat terbuai dan tertipu. Bisa jadi pada akhirnya melahirkan masalah dan beban bagi pemerintah. Kasus paling aktual terjadi di DKI Jakarta, ada beberapa sekolah swasta yang tak mampu lagi beroperasi karena beberapa kendala. Pihak yayasan kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada pemerintah provinsi. 

Mendirikan sekolah bukan sekedar mengelola murid, bukan pula sekedar membangun kelas baru atau mengatur perputaran keuangan. Kehadiran sekolah dimanapun letaknya setidaknya  mampu memberikan kontribussi besar bagi kemajuan masyarakat dan bangsa. Sekolah telah terlanjur dipercaya masyarakat sebagai lembaga pengubah takdir seseorang. Banyak orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya agar nasibnya lebih baik dari orang tuanya. Berbagai cara ditempuh termasuk memburu informasi dari berbagai sumber yang tujuannya mendapatkan sekolah yang bermutu, lingkungan yang nyaman dan pola pembelajaran yang dinamis. 

Tantangan sekolah kian berat, para siswa bukan kelinci percobaan yang diajar oleh guru yang kadar intelektualnya standar. Sekolah kemudian didikte oleh orang tua dan siswa, para guru tidak memiliki keberanian untuk berimprovisasi dan berkreasi mengembangkan potensi siswa. Para siswa diharamkan untuk memiliki nilai angka rendah, apalagi bila harus gagal. Semuanya diatur untuk lulus dan mulus meskipun dengan kemampuan pas-pasan. Tak disadari, sekolah telah mewariskan mental rapuh kepada peserta didiknya. Kelak anak-anak kita menjadi manja atau beringas bagai binatang liar. Secara vulgar mungkin benar kata Robert T. Kiyosaki (1993) ketika menulis judul buku, If You Want  to be Rich and Happy, Don’t Go to School. Apa mungkin suatu saat, masyarakat dan orang tua tak lagi percaya kepada sekolah, hingga mereka mengatakan “selamat tinggal sekolah”. Memang, segalanya tak ada yang menjamin (*)
                                         Pegiat Pendidikan dan Sosial, Tinggal di Rajeg Tangerang

1 Comments

  1. Insyaallah YASPIH bisa menjalankan amanat sesuai dengan Visi Misi dan Tujuan nya

    ReplyDelete