Tobat Profesi Guru

GURU merupakan komponen terpenting dalam menciptakan keberhasilan belajar siswa, sekaligus faktor penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan. Selama ini guru seringkali disibukan dengan setumpuk persoalan siswa, mulai dari lambannya siswa dalam menerima materi ajar, perilaku menyimpang hingga aksi anarkis siswa. Guru kemudian lupa mengevaluasi dirinya sendiri, padahal bila ditilik secara jujur akar persoalan siswa ternyata benihnya bersumber dari perilaku guru dan orang dewasa di sekelilingnya.

Sudah saatnya guru memiliki keberanian moral untuk mengakui segala “dosa” dan kekeliruan yang selama ini terus dipelihara hingga telah melenakan tugas sucinya sebagai pendidik dan pengajar. Sosok manusia agung bernama guru sejatinya hadir sebagai penebar kebaikan, tampil dalam dimensi makhluk bersih yang wajib digugu dan ditiru, artinya segala ucapan dan tutur katanya dapat dipercaya dan menentramkan. Sikap dan perilakunya merupakan sumber inspirasi yang mampu mengubah tatanan kehidupan peserta didik dan  lingkungan masyarakat kearah yang lebih mulia dan bermartabat.

Tobat Profesi Guru

Sayangnya seringkali kita dikejutkan dengan berita heboh dan pemandangan kurang bermutu yang ditampilkan oleh oknum guru disekitar kita. Peristiwa pelecehan seksual oleh guru terhadap siswi di SMAN 22 Jakarta, tindakan kekerasan dan ancaman guru kepada siswa, guru selingkuh, serta sejumlah perilaku kotor lainnya yang benar-benar telah memalukan dan mencoreng profesi guru. Munculnya kesan negatif terhadap guru semakin meneguhkan pandangan masyarakat bahwa telah terjadi gejala  Burnout terhadap guru yakni rendahnya muatan moral akibat gempuran psikologis yang bertubi-tubi. Dalam perspektif fisik, guru merupakan sosok utuh sempurna, namun didalamnya ada masalah kronis yang sepatutnya perlu ada penataan ulang melalui manajemen guru yang menyeluruh dan berkesinambungan.  

Disadari atau tidak bahwa perilaku nista guru telah menjadi aib abadi yang sulit dihapuskan. Selanjutnya  orang yang pertama kali meniru sekaligus menyontohnya adalah para siswa dan siswi asuhannya, kemudian menjalar lebih jauh kepada siswa sekolah lain. Inilah dampak tragis dari diabaikannya karakter mulia guru. Selanjutnya guru kian dilecehkan sebagai profesi agung. Jangan terkejut bila kita menjumpai banyak siswa yang tak lagi memberi penghormatan dan penghargaan kepada gurunya. 

Bila seseorang telah mewakafkan dirinya untuk menjadi guru, maka tak ada kata berhenti untuk terus merawat perilaku terpujinya. Jangan terlalu sibuk mengharapkan penghargaan serta pujian dari para siswa dan rekan seprofesi, maka sebaiknya guru disibukan dengan terus memperbaiki diri, menghargai dan menghormati orang lain walau berbeda pandangan. Guru sejatinya tak boleh letih untuk memperkaya wawasan dan tawadhu dalam membangun komunitas pergaulan. Tidak perlu menonjolkan keegoan lantaran berada pada jajaran guru senior. Tanyakan kepada nurani masing-masing, masih layakkah menyandang sebutan guru bila dalam hari-hari mengajar, menyerukan berdamai dengan keburukan. Setiap saat paling rajin mengkritisi segala kebijakan sekolah namun sayangnya miskin solusi dan dangkal gagasan. 

Kondisi pendidikan di Indonesia masih perlu pembenahan, Menteri pendidikan sudah berkali-kali diganti namun belum ada tanda-tanda kebangkitan. Kualitas pendidikan kita masih rendah, data UNESCO tahun 2000 menunjukan bahwa indeks pengembangan manusia indonesia makin menurun. Bahkan berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant menempatkan kualitas pendidikan di Indonesia pada urutan 12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada dibawah Vietnam.

Gambaran tentang rendahnya mutu pendidikan di negeri ini seharusnya menyadarkan semua fihak, utamanya para guru yang menjadi aktor penting dalam membangun perubahan. Guru harus bersedia mengikuti perkembangan dan perubahan yang kian cepat. Guru jangan mau diremehkan oleh stigma negatif bahwa guru sulit berubah walau sudah dilatih dengan pola ratusan jam,  mengikuti seminar dimana-mana serta pembinaan tiada henti dari kepala sekolah dan pengawas.

Apabila ditulis secara rinci, terlalu banyak daftar dosa guru (walaupun berkatagori dosa kecil) yang menyebabkan menurunnya motivasi siswa untuk belajar. Dan pada gilirannya, merosotnya kualitas pendidikan secara keseluruhan. Harus diakui secara jujur dan terbuka bahwa dalam menjalankan tugasnya, ada sebagian guru seringkali meninggalkan kelas tanpa alasan yang jelas. Datang ke sekolah terlambat, menugasi siswa menulis, sementara guru asyik mengobrol di ruang kantor. Bahkan ada dijumpai guru yang tertidur di ruangan kelas, sementara siswa dibiarkan liar tanpa pengawasan. 

Yang mengejutkan, ada guru sangat emosional bila siswa bertanya kritis dan berbeda pendapat. Siswa diberikan tugas-tugas yang terlalu membebani, Guru tidak menguasai materi yang menyebabkan siswa makin bingung. Bahkan tidak jarang kita jumpai, guru yang tidak memiliki perencanaan mengajar, jarang membaca, malas membuat evaluasi dan membiarkan tugas-tugas siswa menumpuk di meja tanpa dikoreksi, tanpa dinilai. Dosa lain yang setiap tahun rutin dilakoni guru adalah menjadi tim sukses UN, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun dengan terang-terangan. 

Kepekaan dan kepeduliaan guru terhadap murid saat ini kian rendah. Sikap materialistis makin menonjol, segala bentuk tugas pendidikan selalu diukur dengan seberapa besar pendapatan dan keuntungan. Siswa mengalami krisis keteladanan. Kata-kata pemantik dan penyemangat belajar siswa, jarang muncul dari guru yang nuraninya mulai tumpul. Persaingan antar guru dalam satu institusi justru kian menguat.  Provokasi, menebar fitnah dan mengadu domba seringkali tak terhindari dalam satu gerbong sekolah. Guru pada akhirnya melupakan untuk meningkatkan kompetensi pedagogisnya.

Kini perhatian pemerintah terhadap guru sangat luar biasa. Berbagai tunjangan dan penghargaan sudah mulai diwujudkan walaupun masih perlu ditingkatkan. Sejak 2007 pemerintah mulai menggelontorkan tunjangan sertifikasi guru atau tunjangan profesi guru.  Kajian Bank Dunia tahun 2009, 2011 dan 2012  terhadap program ini sangat mengejutkan karena tunjangan sertifikasi belum mampu mengangkat prestasi guru dan siswa secara signifikan. Program ini hanya baru meningkatkan minat generasi muda untuk menjadi guru.

Menjadi guru bukanlah sekedar takdir tanpa pilihan. Bila suatu saat nanti potret pendidikan kita masih kusut, atau bahkan bangkrut sama sekali maka guru adalah salah satu elemen yang siap memikul tanggung jawab, karena guru bagian dari mesin pendidikan yang berlaku saat ini. Profesi guru kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Sang pemilik ilmu. Oleh karenanya yang dibutuhkan guru hari ini adalah tobat nasuha, yakni mengasah hati untuk tetap istiqomah mencintai profesi guru sejati.

0 Comments