Mewaspadai Caleg Bermuka Dua

MEMASUKI tahun politik dan menjelang Pemilu 2019, sejumlah Parpol dan pemain politik bergeliat membangun pesona dengan menebarkan simpati publik. Sudah berseliweran aktor politik dimedia massa dengan jargon-jargon menjulang. Dibeberapa titik jalan sudah bermunculan spanduk-spanduk yang berukuran terkecil hingga paling besar dengan kemasan yang apik, sambil berjualan janji manis. Tampil dengan polesan wajah penuh empatik, menyapa rakyat dengan kata penuh makna. Satu langkah politisi menjebak rakyat masuk perangkap kebohongan.  

Sudah menjadi kelaziman bagi politikus menjelang perhelatan pemilihan Caleg dan pemilihan Presiden keluar dari sarangnya. Mereka bertiarap memasuki lorong-lorong kumuh, mengunjungi daerah bencana, menyumbang sarana ibadah dan aktif blusukan  ke masyarakat. Hal ini hanya terbiasa dilakukan menjelang Pemilu semata. Para politisi itu sebagian besar mengisi hari-harinya  untuk berbohong sambil  diselingi obral janji. Charles de Gaulle, negarawan dan perdana menteri Prancis ternama berujar dengan nada parodi. Politisi katanya tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya.
Mewaspadai Caleg Bermuka Dua
Tahun Politik/ Sumber Gambar: www.citrust.id

Beberapa hasil lembaga survei menunjukan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sudah mulai menurun. Penyebab paling dominan adalah banyaknya kader partai yang berada di parlemen maupun yang ada pemerintahan terlibat kasus korupsi. Para politisi tidak malu-malu mempertontonkan boroknya sendiri di ruang publik dengan kasus skandal hukum dan prahara moralitas. Para politisi yang seharusnya menjadi sumber energi dan teladan bagi perbaikan bangsa malah justru terbelit skandal politik.

Banyak prilaku politisi kita yang bikin rakyat kian muak. Jangan heran bila ada anggota legislatif yang dulu pernah kita pilih,  ternyata masuk kerja semaunya. Saat sidang paripurna malah mangkir, bahkan bila harus hadirpun mereka lebih menyukai tidur atau main games. Mereka memang telah kehilangan rasa empati terhadap rakyatnya, karena yang ada dibenak mereka adalah  bagaimana mempertahankan jabatan dan kekuasaan. 

Ongkos politik yang mahal menyebabkan tumbuh berkembangnya virus korupsi di ranah parlemen. Jumlah rupiah yang bakal dikeluarkan oleh seorang calon legislatif sebagai kader partai tidak bisa dibilang sedikit. Pengeluaran untuk sosialisasi diri, pembelian spanduk dan kaos, ongkos anjangsana ke konstituen, biaya kampanye, membayar tim sukses dan konsultan politik, kontribusi ke partai, belanja iklan di media bahkan mungkin money politics. 

Sungguh ironis, anggota parlemen yang menjadi pengawal demokrasi dan dimungkinkan naik oleh demokrasi, justru membunuh demokrasi itu sendiri dengan membiarkan praktik politik yang mahal modal. Pada gilirannya mereka, baik dengan sendiri-sendiri maupun secara berjamah menagih janji kepada institusi tempat mereka berlindung dengan cara berkorupsi.

Selanjutnya yang menanggung derita berkepanjangan pastilah rakyat. Lantaran amanahnya telah diselewengkan oleh kaum politisi yang hipokrit itu. Para politisi yang rata-rata mahir berbicara saat dekat dengan rakyat,  bersemangat memperjuangkan nasib atas nama rakyat. Ternyata tafsir rakyat bermakna ganda, bisa saja rakyat yang dimaksud adalah keluarga, partai politik, anak isteri, kelompok, kerabat bahkan boleh jadi dirinya sendiri. Dibaju mereka tersemai lambang kenegaraan untuk melayani rakyat. Namun semua itu hanya untuk menutupi watak aslinya sebagai penjahat politik bagi rakyatnya.

Nasib bangsa tidak bisa begitu saja diserahkan kepada kaum politisi bermental koruptif. Semua rakyat berkewajiban bersikap kritis terhadap para calon wakilnya di parlemen. Rakyat harus menentang habis, bila didapati ada Caleg dengan latar belakang prilakunya busuk. Parpol tidak boleh seenaknya mengajukan para Caleg yang memiliki kualitas dibawah standar. Mereka bukan saja harus berkualitas secara intelektual namun dalam persoalan moral harus menjadi pertimbangan serius. 
 Jangan kemudian hanya pertimbangan uang dan iming-iming janji, akhirnya mereka melaju ke parlemen, dan ternyata mereka datang justru dari kalangan preman, tukang cerai kawin, penipu atau bahkan  terbiasa bergelut dengan narkoba. Dalam kasus tertentu, rakyat merasa malu bila ada Caleg yang menyodorkan berkas dokumen ke KPU ternyata dokumen itu dipalsukan. Lalu bagaimana mau menjalankan fungsi legislasi dengan jujur, bila aktor politiknya ternyata pandai berbohong. 

Langkah parpol yang mengharuskan setiap Caleg menandatangani pakta integritas sebaiknya menjadi tradisi wajib untuk mengikat integritas calon. Namun yang terpenting lagi adalah sikap selektif dari masing-masing partai politik. Jangan hanya pertimbangan nasab dan kekerabatan sehingga menghancurkan nasib para calon lain yang sesungguhnya sangat layak dan pantas meraih amanah kekuasaan.

 Masyarakat tidak boleh menutup mata bahwa diantara sekian banyak caleg yang melamar ke parpol, ternyata hanya mencoba peruntungan. Atau karena  saking sulitnya mencari  lapangan pekerjaan. Prihatin memang, mau terjun ke politik kok coba-coba. Seorang politikus sejatinya adalah orang yang sudah melebur kedalam dunia politik. Artinya ia sudah menjadi golongan yang teramat ahli dalam politik dan sudah ditahbiskan menjadi sosok figur politik. Bukan baru belajar politik tatkala ia telah masuk ke lingkaran politik. 

Diakui memang, Syahwat orang untuk menjadi legislator memiliki daya pikat yang luar biasa hebat. Mereka datang berbondong-bondong dari latar belakang yang beragam. Ada PNS yang mengundurkan diri, pejabat tinggi yang jenuh dibirokrasi, kepala daerah dan kepala desa yang sudah habis masa jabatannya hingga para menteri yang masih aktif  di kabinet ikut meramaikan bursa pencalegan.

Sekarang tinggal berpulang kepada rakyat, apakah pada 9 April 2014 akan tetap mempertahankan para politisi kawakan yang penipu dan munafik itu, ataukah memberi kesempatan kepada calon politikus pendatang baru yang miskin pengalaman namun tampil bak politikus kawakan. Memang, realitas buruk yang senantiasa mengiringi perwajahan politik itu, menurut pandangan David Runciman merupakan bagian dari fenomena politik bermuka dua. Yaitu politik yang penuh dengan wajah kemunafikan.

Namun percayalah, politikus yang sudah terkorupsi hajat kepentingan sendiri, biasanya hanya akan menjadi pajangan buku parlementaria saja. Namanya hanya menempel pada cetakan buku proyek, bukan pada ingatan rakyat sepanjang masa. Dan rakyat semakin jijik melihat  foto-fotonya terpampang dimana-mana meski disana ada senyum yang mengembang.

0 Comments