Merindukan Ujian Nasional yang Jujur

BUDAYA antikorupsi dan kejujuran tidak cukup hanya diajarkan lewat bangku sekolah. Membangun dan menegakan  budaya kejujuran  itu harus diuji, tidak cukup hanya diajarkan, tetapi harus dipraktikan dan dibudayakan sejak dini. Anak-anak harus dilatih untuk jujur dan menjauhi korupsi. Kejujuran bisa dipraktikan dengan beragam macam media, diantaranya saat pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Demikian yang dipaparkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohamad Nuh setahun yang lalu di Blitar.

Kejujuran dalam pelaksanaan Ujian Nasional dari tahun ke tahun seolah menjadi tema pokok dan diskursus paling hangat dikalangan pemangku pendidikan. Pemerintah dan BSNP sesungguhnya  telah mencium aroma ketidakjujuran dalam beberapa pelaksanaan UN tahun-tahun yang lalu. Tengok saja aturan UN yang terus mengalami perbaikan dan  penyempurnaan. 
Merindukan Ujian Nasional yang Jujur
Ujian Nasional
Bila ditelusuri lebih cermat, sebetulnya peluang berbuat curang dalam UN amat kecil bahkan tertutup. UN tahun 2013 akan diterapkan sistem barcode rahasia sehingga sangat sulit untuk dilacak kodenya. Lagi pula tahun ini akan dimunculkan 20 varian soal setiap ruangnya, yang memungkinkan tertutupnya peluang untuk menyontek antar sesama peserta.UN. 

Naskah soal UN yang dikirim ke kabupaten/kota bahkan hingga ke rayon melalui pengawalan yang super ketat dari pihak kepolisian. Selama berada di rayon,  naskah soal diamankan di tempat yang steril dan selalu terkunci rapih. Setiap hari naskah dijaga oleh petugas piket dan aparat kepolisian secara bergantian. Pengambilan naskah oleh sekolah penyelenggara dilakukan pada H-0, bila terjadi kelebihan soal di ruang UN,  maka pengawas dan panitia tidak berhak mempelajari dan mengambilnya.  

Keseriusan Kemendikbud dalam meningkatkan kualitas UN tidak hanya sebatas pengawalan naskah soal. Dalam penyelenggaraan UN, setiap satuan pendidikan disiapkan dua pengawas untuk satu ruang secara silang. Pengawasanpun melibatkan perguruan tinggi, tim pemantau independen, pers hingga birokrasi pendidikan dari pusat sampai daerah. Selama berada di ruang ujian, para pengawas dan peserta UN dilarang membawa alat komunikasi elektronik. Bahkan sebelum menjalankan tugasnya, pengawas ruang diharuskan menandatangani pakta integritas dan menjunjung tinggi kejujuran. Sanksi ringan sampai berat bagi peserta dan pengawas UN akan menanti manakala dalam pelaksanaan ujian melakukan pelanggaran. 

Walaupun sedemikian ketatnya penyelenggaraan UN, namun tingkat kecurangan dan kebocoran dibeberapa daerah masih saja terus terjadi dan berulang-ulang setiap tahunnya.. Kendatipun bentuk kecurangan dalam UN sangat sulit dibuktikan Ada beberapa titik yang dianggap sangat rawan dalam praktik kecurangan, dan hal ini telah diantisipasi oleh pemerintah dengan berbagai strategi. Seluruh sumber daya telah dikerahkan untuk mewujudkan UN yang jujur dan bermartabat. Anggaran 600 milyar rupiah siap digelontorkan untuk memenuhi semua komponen kebutuhan UN yang jujur dan berkualitas.

Bila anggaran UN yang teramat besar, lalu hasilnya berupa kebohongan dan dusta belaka, maka siapapun yang terlibat dalam penyelenggaraan UN berarti telah memikul dosa berantai. Budaya bohong telah diwariskan kepada jutaan peserta didik Indonesia. Dan ini sangat berpotensi menghancurkan sendi kemanusiaan dan kenegaraan.

Potret perilaku wajah bangsa tergambar jelas saat pelaksanaan UN berlangsung. Guratan kepanikan dan kekhawatiran siswa, guru dan orang tua menjelang UN tak bisa diutup-tutupi. Mereka secara jujur sesungguhnya belum siap dengan sistem UN yang berlaku saat ini. Apalagi risiko harus mengulang tahun depan bila ternyata tidak lulus. Pihak sekolahpun tidak menghendaki bila siswanya banyak yang tidak lulus ujian. Brand sekolah akan hancur berantakan dimata masyarakat. Target lulus 100 persen harus tercapai.

Penodaan terhadap ujian nasional tampaknya akan terus berlangsung. Pada UN 2009,  sekolah yang jujur melaksanakan UN sekitar 60 persen, kemudian yang masih wilayah abu-abu 30 persen dan yang tidak jujur 10 persen. Sebagian dari 10 persen tersebut berada di wilayah terpencil. Dan pada tahun-tahun berikutnya tingkat kecurangan dipastikan semakin tinggi seiring dengan semakin naiknya prosentase kelulusan disetiap daerah.

Jelang pelaksanaan UN, biasanya sekolah beramai-ramai melaksanakan doa dan istighasah bersama dengan harapan dapat meneguhkan keyakinan. Tidak sekedar doa, digelar pula meditasi tawakal, tausiyah dan motivasi dari para ustadz yang diharapkan mampu menggedor spiritual peserta didik. Namun tampaknya praktik kecurangan dan penyimpangan UN terus mencuat ke permukaan. Berdasarkan pengamatan sederhana, paling tidak ada dua penyebab utama terjadinya berbagai macam penyimpangan dalam pelaksanaan UN. Pertama adalah masalah moral, dalam perspektif moral, UN adalah ujian kejujuran. Menurut Prof  DR Arif Raahman apapun bentuk evaluasi belajar tetap memiliki celah terjadinya kecurangan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Persoalan kecurangan kembali kepada moral masing-masing. 

Kedua pengawasan yang lemah, UN dalam perspektif adminintrasi negara adalah ujian atas kinerja pengawasan pendidikan. Sebaik apapun aturan yang telah ditetapkan bila tidak disertai dengan pengawasan maksimal maka potensi kecurangan akan tetap muncul. Pengawasan UN lebih terkesan bersifat seremonial dan bercorak seragam, seolah-olah telah diprogram dalam nada dan irama yang sama. 

Lewat perhelatan ujian nasional, karakter bangsa tersingkap jelas. Kualitas pendidikan di negeri ini sesungguhnya belum merata. Mental guru dan penyelenggara pendidikan masih lemah, manajemen sekolah telah gagal menjalankan tugas sucinya, mereka lebih senang menutupi keborokan dan ingin tampil bersih dalam menghantarkan kesuksesan UN. Sekolah sudah merasa berhasil bila siswanya lulus 100 persen. Para siswa kita tidak terlatih untuk mandiri menjadi pembelajar sejati, orang tua cenderung semakin memanjakan anak-anaknya. Ditambah lagi dengan politisasi pendidikan oleh para elite dan pimpinan daerah. 

Sempurnalah sudah penyimpangan Ujian Nasional yang awal mulanya ingin memetakan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun sayangnya dalam kondisi UN seperti ini, belum ada satu pihak pun yang habis-habisan berusaha mengatasinya. Semua pihak lebih memilih bungkam dan lebih nyaman duduk manis mendengarkan segala celoteh dan menuruti selera pemerintah. Suatu saat nanti kita rindu menyaksikan pergelaran ujian nasional yang amat menentramkan mata dan menyejukan hati, yakni pertunjukan ujian nasional yang disemangati  kejujuran dan  keikhlasan. Semoga.

0 Comments