Menata Entropi Budaya di Sekolah

ISTILAH entropi dalam ilmu fisika yaitu jumlah energi yang dihasilkan sebuah mesin adalah sama dengan jumlah energi yang dimasukan kedalamnya. Namun jika ada kerusakan komponen mesin maka sebagian energi akan digunakan untuk mengatasi kerusakan  tersebut. Istilah ini di Indonesia dipopulerkan pertama kali oleh Ary Ginanjar Agutian pendiri ESQ Training, setelah pada tahun 2011 Lembaga Riset Barrett Values telah memberikan sertifikasi resmi kepada ESQ untuk melakukan pengukuran entropi budaya organisasi ataupun negara.
Menata Entropi Budaya di Sekolah
Ilustrasi Entropy. Sumber Gambar: www.silabus.web.id
Bila kita contohkan kedalam organisasi sekolah yang didalamnya ada komponen guru, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, komite, bendahara, tenaga administrasi, penjaga sekolah, security, siswa, pustakawan, tukang kebun dan lain-lain. Kemudian ada dua atau tiga komponen yang tidak berfungsi atau tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Misalnya guru sering meninggalkan kelas, atau bendahara yang tidak membayarkan gaji atau honor sesuai waktunya, maka terjadilah hambatan pembelajaran. Inilah yang kemudian disebut entropi budaya di sekolah.

Apabila tingkat entropi (derajat ketidakteraturan) budaya berkadar tinggi terjadi disebuah institusi sekolah, maka ada kecenderungan proses belajar mengajar menjadi tidak kondusif, tingkat kedisiplinan siswa dan guru menurun, sehingga kualitas pendidikan menjadi sangat rendah, dan ancaman sekolah gulung tikar sangat mungkin terjadi.

Banyak kasus yang dapat kita jadikan pelajaran berharga, baik yang terjadi di sekolah milik pemerintah maupun sekolah yang dikelola oleh swasta. Munculnya banyak aturan, persaingan antar guru, tidak adanya transparansi dalam mengelola keuangan, saling mengandalkan, abai terhadap tugas dan tanggung jawab bahkan saling mencurigai sesama rekan merupakan percikan kearah kondisi sekolah berentropi tingkat tinggi.

 Jangan heran bila kita menjumpai ada guru yang membiarkan muridnya melanggar etika dan aturan tanpa teguran dan sanksi, tenaga kependidikan datang dan pulang seenaknya tanpa merasa malu dan bersalah. Bila kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu lama dikhawatirkan terjadi kebangkrutan sekolah. Negara Islandia pada tahun 2008 mengalami kebangkrutan ekonomi  akibat entropi tinggi mencapai 54 persen. Demikian pula ada kasus sekolah  yang ditinggalkan oleh para guru dan tenaga kependidikan karena mengalami entropi budaya tinggi sehingga sekolah  tidak lagi diminati oleh masyarakat dan sepi pendaftar. Sekolah yang rentan mengalami entropi, biasanya milik yayasan yang dikelola oleh keluarga.

#Faktor Penyebab

Diantara penyebab terjadinya entropi budaya di sekolah antara lain, pertama aturan yang kaku. Banyak sekolah yang sulit berimprovisasi  akibat  intruksi atau  aturan yang berasal dari dinas atau instansi diatasnya. Padahal aturan tersebut seringkali bertentangan dengan kondisi, budaya dan kebiasaan yang berlaku. Pada akhirnya sekolah memiliki rasa ketakutan dan kebergantungan yang berlebihan. Sekolah tidak memiliki kemandirian, tidak berani mengambil keputusan yang berbeda. Diperparah lagi bila ada intruksi ganda dan berlawanan, sekolah menjadi lebih  bingung dan saling menyalahkan. 

Kedua  tidak memiliki visi, misi dan persepsi yang sama. Diantara komponen sekolah tidak terbangun keharmonisan. Ada persaingan yang kurang sehat dintara pemangku sekolah. Terjadi faksi dan kelompok yang ingin memaksakan ide dan kehendaknya. Tidak jarang satu dengan yang lain saling mendongkel dan menjatuhkan. Yang merasa tersisihkan membuat kekuatan baru dan memprovokasi kawan dan lawan. Sekolah menjadi ajang festival dendam dan pamer harga diri.
Ketiga Kepala Sekolah yang lemah kepribadian. Dalam sebuah kajian bahwa entropi budaya organisasi, korporasi atau instansi sesungguhnya adalah refleksi langsung dari entropi pribadi sang pemimpin. Penelitian menunjukan adanya korelasi  yang jelas antara pemimpin dengan entropi budaya organisasi.

Ada ungkapan klasik, tidak ada anak yang tidak bisa dididik, yang ada guru yang tidak bisa mendidik. Tidak ada guru yang tidak bisa mendidik, yang ada kepala sekolah yang tidak bisa membuat guru  bisa mendidik. Ungkapan ini menguatkan peran strategis Kepala Sekolah dalam menentukan masa depan satuan pendidikan. Hasil studi yang dilakukan Bambang Budi Wiyono (2000)  terhadap 64 kepala sekolah dan 256 guru Sekolah Dasar di Bantul terungkap bahwa etos kerja guru lebih tinggi ketika dipimpin oleh kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada manusia. Tidak berlebihan bila ada asumsi bahwa sekolah yang baik tidak terlepas dari kepala sekolah yang baik. Sekolah yang buruk pun tidak lepas dari kepala sekolah yang tidak kompeten.

#Peran Kepala Sekolah

Peraturan Menteri Pendidikan naasional Nomor 13 Tahun 2007 mengharuskan kepala sekolah  memiliki kompetensi kepribadian, manajerial, supervisi, sosial dan kewirausahaan. Sekolah yang dikelola oleh kepala sekolah yang tidak memiliki kesungguhan, tidak mampu mempengaruhi dan memotivasi guru, dan keterbatasan skill kepemimpinan seringkali jalan ditempat. Apalagi sosok kepala sekolah yang formalistik birokratik, jaim dan senang dipuji, sudah tidak jamannya lagi dan harus segera dievaluasi.

Kepala sekolah secara formal standar harus menjadi edukator, manajer, supervisor, leader, motivator dan sekaligus entertainer. Menciptakan suasana keakraban, kekeluargaan keriangan dan menghilangkan sekat-sekat kecemburuan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan etos kerja warga sekolah. Kepala sekolah setidaknya menjadi panutan dan inspirator bagi guru dan siswa. Seorang kepala sekolah diharapkan membawa pencerahan dan bertransformasi dengan segala perubahan sehingga membawa kemajuan bagi satuan pendidikan yang dipimpinnya.

Sebagai aktor penting yang menentukan hidup matinya sekolah, sebaiknya pemerintah dalam menyeleksi dan mengangkat kepala sekolah didasarkan atas prestasi, kompetensi dan integritas. Bukan atas pertimbangan kedekatan apalagi berbau kepentingan politik.   

0 Comments