Membenahi Pungutan Liar di Sekolah

DUNIA  pendidikan di Indonesia masih terus bergelut dengan berbagai permasalahan, mulai dari masalah paling tradisional hingga masalah paling mutakhir. Pendidikan kita belum menemukan format kurikulum ideal, kurikulum yang berlaku saat ini masih terus mengalami penyempurnaan. Belum lagi adanya rencana pemerintah yang akan melakukan uji kompetensi bagi guru yang akan melakukan sertifikasi.  Dan yang paling aktual adalah persoalan anggaran pendidikan  yang dianggap cukup besar namun belum dapat menyentuh kualitas yang dapat dibanggakan. Berdasarkan laporan The United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2011 yang mengumumkan peringkat Indeks Pembangunan Indonesia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI) Indonesia mengalami penurunan dari peringkat ke 108 pada 2010 menjadi peringkat 124 pada tahun 2011.
Membenahi Pungutan Liar di Sekolah
Sumber Gambar: http://www.indeksberita.com
Persoalan kualitas pendidikan dan belum memadainya anggaran pendidikan disikapi oleh setiap sekolah secara beragam. Untuk memenuhi kebutuhan operasional sekolah, secara kreatif sekolah bersama-sama dengan Komite Sekolah melakukan rembuk, yang pada gilirannya muncul kesepakatan adanya partisipasi masyarakat membantu biaya operasional pendidikan. Meskipun sesungguhnya pemerintah telah mengucurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Inilah yang oleh sebagian teman-teman di LSM disebut sebagai pungutan liar. Di sisi lain sekolah juga seringkali terlalu over dosis dalam menyampaikan keluhan kebutuhan biaya operasional  sehingga tidak jarang membebani orang tua siswa. Berbagai pungutan pada akhirnya semarak disetiap sekolah dan menjadi kontra produktif  dengan kebijakan BOS yang digulirlkan pemerintah dalam rangka pemerataan dan perluasan akses pendidikan.  

Dana BOS seolah menjadi malapetaka bagi sebagian sekolah yang masih memungut biaya operasional maupun biaya investasi. Disadari memang BOS belum mampu mencukupi segala kebutuhan operasional sekolah, inilah yang kemudian menjadi magnit setiap sekolah untuk berupaya melakukan pungutan terhadap orang tua siswa meskipun memiliki risiko didemo oleh masyarakat maupun ditekan dari institusi  kontrol dan pengawas bentukan masyarakat. Kondisi carut marut pungutan inilah yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Peraturan Menteri (Permen) Nomor 60 Tahun 2011 tentang larangan pungutan di tingkat SD dan SMP. 

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhamad Nuh, berdasarkan survei yang dilakukan  Kemendikbud di 675 sekolah di 33 provinsi, jenis pungutan yang paling banyak dijumpai pada awal tahun ajaran 2011/2012 adalah pungutan seragam sekolah (49 persen). Berturut-turut dibawahnya adalah pungutan buku/LKS (14,7 persen), uang bangunan/gedung (9,7 persen), administrasi pendaftaran (9,2 persen), SPP (4,4 persen), masa orientasi (3,6 persen), ekstrakurikuler (0,7 persen) dan laboratorium (0,5 persen).

Permendikbud ini secara garis besar melarang pungutan di sekolah negeri, sekolah-sekolah swasta yang menerima BOS, Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), dan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Sekolah yang dimaksud adalah yang setara dengan SD dan SMP, termasuk SLB, SMP-LB, dan SMP terbuka.. Untuk sekolah-sekolah negeri dilarang melakukan pungutan, baik biaya operasional maupun biaya investasi. Sedangkan untuk sekolah-sekolah swasta yang menerima BOS hanya dilarang memungut biaya operasional saja, sementara pungutan biaya investasi masih diperbolehkan. Bila kemudian sekolah swasta memungut biaya operasional prinsipnya diperbolehkan hanya harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan.

Permendikbud ini menguatkan sinyalemen  dasar bahwa dimasyarakat telah  timbul banyak gejolak akibat menjulangnya biaya pendidikan. Pendidikan masih dianggap terlalu mahal bagi  masyarakat, terutama bagi masyarakat kelas bawah. Pada sebagian masyarakat tidak terlalu penting apaklah anaknya harus bersekolah di Rintisan Sekolah Bertaraf Ionternasional ataukah belajar pada sekolah rintihan bertaraf pinggiran.  

Menurut hemat penulis setidaknya akan muncul di sekolah-sekolah dua sikap dalam  merespon  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini. Pertama, sekolah  baik negeri maupun swasta yang sudah terbiasa melakukan pungutan, tidak akan mengubah pendiriannya untuk tetap melaksanakan kebijakan yang telah diprogramkan, terlebih sudah mendapatkan restu dari orang tua siswa. Sekolah ini akan tetap istiqomah dan tidak akan pernah merasa takut dengan berbagai ancaman dan intimidasi dari pihak manapun. Meskipun dalam peraturan ini disebutkan bahwa sanksi yang dijatuhkan kepada sekolah yang tidak mengindahkan peraturan ini akan di mutasi atau dicabut ijin  penyelenggaraan pendidikannya. 

Sekolah semacam ini cenderung mengabaikan peraturan yang dinggap akan mengebiri daya kreatifitas sekolah dalam menegembangkan pendidikan yang lebih maju dan modern. Biaya operasional sekolah yang  mengandalkan BOS akan cenderung jalan di tempat dan tidak akan mampu melakukan lompatan-lompatan spektakuler. Menciptakan sekolah yang bermutu tinggi seringkali berbanding lurus dengan besaran biaya. Oleh karenanya pungutan tetap dijalanksan selagi mampu mempertanggungjawabkannya di hadapan orang tua, masyarakat dan kelompok yang berkepentingan.

Kedua, sekolah akan mematuhi segala ketentuan yang tertuang dalam permendikbud, Kepala Sekolah tidak berani melakukan impropisasi dalam rangka mendongkrak kebutuhan anggaran. Dalam hal ini sekolah tidak mau banyak terlibat dalam persoalan peningkatan kualitas dan pengembangan sekolah. Yang paling penting program belajar mengajar tetap berjalan. Sementara kegiatan pendukung  lainnya akan disesuaikan dengan anggaran yang ada, bahkan sebisa mungkin tidak perlu ada kegiatan yang mengarah kepada penghamburan anggaran. 

Gaya bertahan dan memilih pola kenyamanan inilah yang akan dianut oleh sebagian besar sekolah. Apalagi ada intruksi dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Provinsi yang menekan sekolah harus taat dan tunduk terhadap Permendikbud ini. Menyikapi persoalan ini setidaknya harus ada keberanian dari  Kepala Daerah untuk mengatur lebih rinci tentang larangan pungutan di sekolah. Kita menyadari bahwa setiap sekolah memiliki potensi, kekhasan, kultur dan lingkungan masyarakat yang beragam.

Permendikbud ini akan menyamaratakan seluruh sekolah yang ada dengan tidak mempertimbangkan kondisi masyarakat. Kita semua menyepakati bahwa siswa tidak mampu atau masyarakat kelas bawah wajib hukumnya dibantu alias digratiskan dari berbagai pungutan apapun di sekolah. Kita punya kewajiban untuk menyelamatkan anak bangsa dari putus sekolah. Namun harus dipertimbangkan juga bahwa ada masyarakat kita yang masih mau dan mampu membantu biaya penyelenggaraan pendidikan di tempat anak-anaknya bersekolah, dengan harapan kualitas sekolah tetap terjaga. 

Bila masyarakat atau orang tua tidak lagi dilibatkan dalam urusan mutu pendidikan  maka sekolah telah berlaku zhalim dan sombong karena sudah merasa mampu  melayani peserta didiknya secara benar dan maksimal. Demikian pula jangan ada dari masyarakat miskin atau ekonomi lemah dipaksa harus membayar sejumlah biaya pendidikan yang terlampau mahal dan tidak terjangkau. Bila inipun terjadi maka sesungguhnya sekolah telah berlaku khianat terhadap keberlangsungan program wajib belajar 9 tahun.

Membenahi pungutan di sekolah, sejatinya bukan didasarkan kepada semangat  sekolah gratis. Apalagi jargon gratis lebih mendekati kepada unsur politis ketimbang menyelamatkan bangsa dari melemahnya sumber daya, moral dan ekonomi. Peraturan ini diprediksi sangat  berpotensi melahirkan terjadinya masalah baru sekaligus akan dijadikan dalil bagi siapapun yang ingin mencari keuntungan atas nama pembela rakyat kecil.  Suatu saat nanti akan ada strategi sekolah  yang membuat Kemendikbud merasa panik dan terkejut, hanya karena mungkin sekolah menghindari jeratan pungutan liar. Karena ternyata sekolah jauh lebih pandai dalam menyiasati kondisi di lapangan. Apalagi menyangkut produk peraturan dari pusat, biasanya agak sulit diterapkan secara tegas.

Penggiat Pendidikan, Sosial dan Keagamaan
tinggal di Rajeg Tangerang

0 Comments