Dilema Siswa Menikah

LARANGAN mengikuti Ujian Nasional (UN) bagi siswa yang telah menikah atau hamil kembali menyeruak. Kasus yang menimpa M. Sudirman (18), pelajar SMA Negeri 7 Kabupaten Tangerang menuai kontroversi dikalangan praktisi pendidikan. Bila diamati sesungguhnya kasus semacam ini bukan hal yang baru. Banyak sekolah tingkat menengah di Tangerang bahkan di Indonesia memiliki pengalaman serupa. Namun kasusnya segera dipetieskan dan tidak muncul ke permukaan.

Dulu sebelum era keterbukaan dan kebebasan menyeruak, sudah menjadi konsensus bersama dikalangan pengelola pendidikan, (walaupun belum menjadi ketetapan hukum). Bahwa siswa yang menikah apalagi hamil diluar nikah,  siswa yang bersangkutan dikeluarkan atau dimutasikan. Keputusan ini hampir diamini oleh sebagaian besar penyelenggara pendidikan, karena siswa tersebut  telah melanggar tata tertib dan peraturan sekolah. Sikap sekolah bagian dari penegakan sanksi sosial bagi siswanya yang melanggar aturan. Tidak ada siswa dan orang tua yang menentang, bahkan sebelum dikeluarkanpun pihak orang tua menyampaikan permohonan maaf karena telah mencoreng nama baik sekolah.
Dilema Siswa Menikah
Sumber Gambar: Kompasiana.Com

Berbeda dengan era sekarang, dimana kebebasan individu tidak boleh dibungkam oleh pihak manapun. Siswa, selebriti, atau siapapun tidak lagi merasa risih apalagi malu mempublikasikan bahwa dirinya telah melakukan hubungan intim diluar pernikahan. Era kebebasan telah menggiring gaya hidup seseorang untuk tidak boleh dilarang, dibatasi atau dipangkas hak-hak dasarnya  yang paling azasi.

Kasus yang menimpa Sudirman sebaiknya disikapi secara hati-hati, tidak perlu emosional. Karena boleh jadi kasus ini akan menjadi pembanding sekaligus rujukan bagi sekolah lain yang memiliki kasus yang sama.  Sebetulnya kasus ini hampir selesai setelah  Mendikbud Muhamad Nuh menyampaikan pandangannya, bahwa siswa kelas 9 SMP atau kelas 12 SMA/SMK yang menikah atau hamil diizinkan mengikuti UN. Alasannya,  pendidikan adalah hak setiap orang. Tidak ada  pembatasan hak memperoleh pendidikan termasuk karena seorang siswa dalam kondisi hamil. Entah statusnya nikah atau belum nikah. (Satelit News, 3 April 2013).

Menurut hemat penulis, pandangan Mendikbud sebaiknya dikaji ulang, yang perlu kita pikirkan adalah dampak paling serius bila pendapat Menteri ini menjadi keputusan final. Ada kecenderungan bila solusi ini menjadi opsi utama yakni akan melegalkan bahkan menyuburkan budaya hubungan intim antar siswa dan siswi diluar nikah. Mendikbud terkesan menyederhanakan masalah tanpa melihat konteks dan akibat yang timbul dikemudian hari.

Kemungkinan siswa tidak akan merasa takut dengan segala risiko karena siswa yang menikah dan hamil masih diperkenankan sekolah, tanpa ada sanksi apapun. Kita tidak bisa membayangkan dalam kondisi usia yang belum matang, siswa harus berpikir keras mengurusi keluarga dan belajar di sekolah. Apalagi bila ada siswi yang melahirkan, minta cuti beberapa bulan, dan kemudian menggendong – gendong anak ke sekolah.  Bisa jadi pemerintah ke depan wajib menyediakan sekolah khusus bagi siswa dan siswi yang telah menikah atau hamil diluar nikah ataupun yang telah berkeluarga.

Kita cukup prihatin dengan kondisi pergaulan generasi muda saat ini. Seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan obat-obat berbahaya, HIV/AIDS menjadi masalah utama di Iindonesia. Hal ini harus menjadi fokus utama yang segera ditangani karena jumlah remaja mencapai 26,7 persen dari total penduduk Indonesia.

Penelitian Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada tahun 2007 lalu menemukan perilaku seks bebas bukanlah sesuatu yang aneh dalam kehidupan remaja Indonesia. Kementerian Kesehatan tahun 2009 pernah merilis perilaku seks bebas remaja dari hasil penelitian di empat kota, yakni Jakarta, Medan, Bandung, dan Surabaya. Hasil yang didapat sebanyak 35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah.   

Bila terjadi persoalan dikalangan remaja, pandangan negatif terhadap sekolah tak henti-hentinya disuarakan. Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait ketika menerima pengaduan Sudirman menyebutkan bahwa sekolah telah gagal  mendidik siswanya. Ia menyayangkan keputusan sekolah yang telah memecat Sudirman untuk tidak ikut Ujian.

Seharusnya persoalan remaja termasuk Sudirman bukan hanya tanggung jawab sekolah semata.  Para orang tua, pemerintah bahkan Komnas Perlindunga Anak dan seluruh elemen yang memiliki keterkaitan tentang nasib masa depan remaja seharusnya ikut  bertanggung jawab. Komnas PA dan BKKBN yang bersentuhan langsung dengan persoalan anak dan remaja sejatinya terus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya membangun gaya hidup remaja yang sehat dan berkualitas.

Menyikapi persoalan siswa menikah dan hamil, sebaiknya kita menghormati dan mengapresiasi keputusan pihak sekolah yang telah mengambil sikap mengeluarkan Sudirman dari sekolah dan memfasilitasinya untuk ikut ujian paket C yang memiliki kekuatan setara dengan SMA. Bagimanapun wibawa sekolah harus terus dijaga dimata masyarakat, dan tata tertib harus ditegakan. Bila didadapati ada siswa lain yang telah menikah dan masih bersekolah sebaiknya sekolah tidak diskriminatif, rasa keadilan harus diberlakukan bagi semua siswa.

Keberanian Sudirman melaporkan kasusnya ke Komnas Perlindungan Anak patut kita hargai. Bagaimanapun hak dan masa depan seorang siswa harus kita pikirkan bersama. Sudirman harus biberikan ruang untuk menentukan masa depannya, termasuk untuk ikut Ujian Nasional. Boleh jadi Sudirman tidak ikut UN di sekolah tempat ia belajar, namun ada tempat lain yang memiliki standar, kekuatan dan menjamin bahwa ia kelak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya, atau untuk bekerja di tempat sesuai keinginannya.

0 Comments